Surat Kabar di Indonesia
Era Penjajahan Belanda (1700-1900)
Pada era 1700-1900, telah beredar surat kabar yang
diterbitkan oleh penjajah Belanda: Kort Beiricht Eropa, Bataviase
Nouvelles, Vendu Nieuws, dan
Bataviasche
Koloniale Courant. Ditulis berbahasa Belanda dengan mutu,
bentuk, dan tampilan yang sangat sederhana. Fungsinya: mendokumentasikan
peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada masa itu. Belanda memang negara
yang sangat memerhatikan dokumentasi.
Era Prakemerdekaan (1900-1945)
Memasuki era 1900-an, kualitas dan fungsi surat
kabar meningkat. Bukan lagi sebatas sarana dokumentasi, tapi berkembang menjadi
sarana menyampaikan saran, kritik, dan aspirasi, terutama bagi para pejuang
kemerdekaan Indonesia.
Medan Prijaji adalah
surat kabar pertama yang terbit dan dikelola oleh orang Indonesia. Surat kabar
berbahasa Indonesia dengan bahasan politik ini terbit pada Januari 1907. Pelopornya
adalah Raden Mas Tirtoehadisoerjo.
Kehadiran Medan Prijaji menjadi penggerak
terbitnya surat kabar lain yang dipelopori tokoh-tokoh perjuangan: Oetoesan
Hindia oleh Hadji Oemar Said Cokroaminoto (tokoh Islam); Halilintar dan
Nyala oleh Samaun (tokoh kiri), Guntur Bergerak dan Hindia
Bergerak oleh Ki Hajar Dewantara (tokoh nasionalis); Benih Merdeka dan
Sinar Merdeka oleh Parada harahap (Wartawan senior yang dijuluki the
King of Java Press); Suara Rakyat Indonesia, Sinar Merdeka, dan Sinar
Indonesia oleh Soekarno (tokoh demokrat yang menjadi presiden pertama
Indonesia), dan masih banyak lagi surat kabar lainnya, terbit dan tersebar di
pelbagai wilayah.
Surat kabar tersebut di atas tidak bertahan lama.
Satu persatu berguguran. Bangkrut karena modal kurang dan pembredelan oleh
negara penjajah, Belanda dan Jepang, menjadi penyebabnya. Bahkan, pada saat
Jepang menguasai Indonesia tahun 1942, surat kabar yang terbit di Indonesia
hanya satu: Djawa Shimbun. Ada kemudian beberapa surat kabar yang
diijinkan terbit oleh Jepang, seperti Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar
Matahari, dan Suara Asia, tapi operasionalnya diawasi ketat oleh
Jepang.
Era Pascakemerdekaan (1945-1950)
Pada saat Jepang kalah dalam Perang Dunia II dan
terusir dari Indonesia pada 1945, Belanda, yang diboncengi oleh Inggris,
kembali mencoba mengendalikan percetakan dan penerbitan surat kabar. Namun,
berkat perjuangan Soekarno dan tokoh-tokoh pejuang lainnya, hal tersebut gagal.
Bahkan, surat kabar Belanda ditutup dan perusahaan percetakan miliknya
dinasionalisasi menjadi milik Indonesia.
Pada 1946, surat kabar menemukan jati dirinya.
Terbentuknya organisasi Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) pada Juni 1946,
menyusul terbentuknya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada
Febuari 1946, menjadi faktor penyebab. Hadirnya kedua organisasi ini setidaknya
memberikan tujuan, visi, dan misi yang jelas bagi keberlanjutan surat kabar.
Era Orde Lama (1950-1965)
Pada era 1950-an, dipelopori partai-partai politik
dan organisasi-organisasi massa, surat kabar tumbuh dan menjamur. Data tahun
1954, beredar 105 surat kabar harian dengan oplah 697.000 eksemplar di seluruh
Indonesia. Pada 1959, jumlah surat kabar menurun menjadi hanya 94, tetapi oplahnya
meningkat menjadi 1.036.500 eksemplar.
Surat kabar besar pada masa itu adalah Harian
Rakjat (Partai Komunis Indonesia), Pedoman (Partai Sjarikat Islam), Suluh
Indonesia (Partai Nasional
Indonesia),
dan Abadi (Masjumi).
Dalam perjalanannya, presiden Soekarno melalui
demokrasi terpimpinnya menerapkan pers terpimpin. Surat kabar yang isinya tidak
sejalan dengan tujuan demokrasi terpimpin dibredel dan dicabut izin terbitnya. Indonesia
Radja milik Moechtar Loebis dan Pedoman milik Rosihan Anwar adalah sebagian
surat kabar yang dibredel pemerintahan orde lama, Soekarno.
Era Orde Baru (1966-1998)
Orde baru ditandai dengan jatuhnya presiden
Soekarno, dibubarkannya Partai Komunis Indonesia (PKI), dan naiknya Soeharto
menjadi Presiden Indonesia kedua. Surat kabar pro-PKI ditutup. Hanya surat
kabar milik tentara, nasionalis, agama, dan kelompok independen yang diizinkan
terbit: (1) surat kabar tentara: Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, Ampera,
Api Pancasila, dan Pelopor Baru; (2) surat kabar nasionalis: Suluh
Marhaen, El Bahar, dan Warta Harian; (3) surat kabar Islam: Duta
Masyarakat, Angkatan Baru, Suara Islam, dan Mercusuar; (4) surat
kabar Kristen: Kompas dan Sinar Harapan.
Pembatasan pers juga diterapkan oleh pemerintahan
orde baru, Soeharto. Surat kabar yang dianggap berbahaya dan tidak sejalan
dengan tujuan pemerintah akan dibredel, terlebih surat kabar yang menyinggung
Cendana dan kroni-kroninya. Pembredelan terbesar terjadi pada saat peristiwa
Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari), 12 surat kabar
dan majalah dibredel: Indonesia Raya, Pedoman, Harian KAMI, Nusantara,
Abadi, The Jakarta Times,
Mingguan
Wenang, Pemuda Indonesia, Suluh Berita, Mahasiswa Indonesia, Indonesia Pos, dan
Ekspress.
Berkaitan dengan kebijakan pembredelan itu, Ali
Moertopo (tangan kanan presiden Soeharto) pernah mengatakan bahwa kebebasan
pers yang disalahgunakan dapat mengganggu pembinaan politik, oleh karena itu,
pers harus dikendalikan dan dibina. Kebijakan pembredelan berlangsung hingga
orde baru runtuh pada Mei 1998.
Dalam perjalanannya, era orde baru menjadi saksi
lahirnya surat kabar dan majalah besar di Indonesia: Kompas (P. K.
Oetjong dan Jacoeb Oetama), Sinar Harapan (H. G. Rorimpandey), Tempo (Goenawan
Mohamad), Media Indonesia (Surya Paloh), dan lainnya.
Era Reformasi (1998-2000)
Era reformasi adalah era kebebasan pers. Presiden
ketiga Indonesia, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, membubarkan Departemen
Penerangan,
biang
pembatasan pers pada orde baru yang dipimpin Harmoko. Surat kabar dan majalah
kemudian dibiarkan tumbuh dan menjamur, begitu juga media-media lainnya:
televisi dan radio. Tanpa tekanan; tanpa batasan. "Informasi adalah urusan
masyarakat," kata Gus Dur.
Kebebasan ini kemudian melahirkan raksasa-raksasa
media. Disebut raksasa karena hampir semua lini media digeluti: surat kabar,
majalah, televisi,
radio,
dan website (surat kabar digital). Mereka adalah Kompas (Jacoeb
Oetama), Jawa Pos (Dahlan Iskan), Media Indonesia (Surya Paloh),
Media Nusantara Citra (Hary Tanusoedibjo), dan Tempo (Goenawan
Mohamad). Luar biasanya, media mereka sampai ke daerah-daerah di seluruh
Indonesia.
Era Digitalisasi (2000-Sekarang)
Era digitalisasi ditandai dengan berkembang pesatnya
internet. Perkembangan internet ditandai dengan lahirnya surat kabar digital
melalui media
website
di
internet. Pelopornya adalah detik.com. Tak lama kemudian, lahirlah surat
kabar digital lainnya: beritanet.com, kompas.com, tempo.co.id, antara.com, dan
lainnya.
Bahkan, orang pribadi pun bisa membuat surat kabar
digital sendiri melalui media blogger.com atau wordpress.com. Ada
prediksi yang mengatakan
bahwa
kehadiran surat kabar digital akan menghilangkan surat kabar sumber daya alam
mendukung prediksi tersebut. Dan faktanya sudah terjadi di Amerika Serikat,
perusahaan media Settle Post menutup operasional surat kabar siknya dan lebih memilih beroperasi melalui
surat kabar digital.
Geliat surat kabar digital tersebut menimbulkan
kekhawatiran Dahlan Iskan, pimpinan media Jawa Pos Grup. Menurut Dahlan, secara
bisnis, surat kabar digital sangat tidak menguntungkan dibandingkan surat kabar
Dia kemudian mencontohkan detik.com yang laba bersihnya sebulan hanya mencapai
ratusan juta rupiah, sangat jauh dibandingkan surat kabar yang mencapai miliaran rupiah.
Ke Mana Arah Surat Kabar di Indonesia?
Saat ini, surat kabar digital berjalan beriringan
dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Hampir dikatakan tidak ada
masalah antara keduanya. Yang masalah sekarang justru pada isi dari surat kabar
itu sendiri -tentunya juga isi media-media lain- yang terlalu bebas, tanpa
etika.
Saat ini, kebebasan pers telah melahirkan kebablasan
pers. Fakta telah bercampur dengan ksi.
Karya jurnalistik yang bersifat objektif telah diracuni
oleh
sikap subjektif wartawan, demi berita bagus, demi uang. Masyarakat tidak bisa
memastikan apakah berita yang tertulis di surat kabar tiap harinya adalah
berita benar atau sampah. Sangat berbahaya. Keadaan ini telah menjadi
perdebatan oleh dua organisasi wartawan: Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Surat kabar di Indonesia harus berkualitas.
Menyajikan berita-berita fakta, menarik, membangun, dan memberikan solusi,
bukan menjatuhkan, menyebar aib, dan provokatif, terlebih dengan kondisi negara
kita saat ini yang masih menuju
kebaikan.
semoga bermaanfaat teman teman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar